Jilbabku

Jilbab yang (Mulai) Bergeser
KEBERADAAN dan perkembangan jilbab (busana penutup aurat perempuan Muslim)
pasca tahun 80-an sangat pesat. Bukan saja dari jumlah komunitas pemakainya
yang terus bertambah tetapi juga perancang dan penyedia busana bersyariat
ini pun, kian banyak.

Bandung yang dikenal sebagai pasar busana, hampir di setiap selasar kota,
bisa ditemui rumah mode-rumah mode busana Muslim. Bahkan menurut catatan
Ikatan Perancang Busana Muslim (IPBM) Jawa Barat, sudah ada 24 lebih
perancang yang tergabung dalam wadah tersebut. Mereka bukan saja perancang
yang khusus mendesain busana Muslim tetapi juga perancang pakaian biasa yang
ikut bergabung. Katanya sih ingin ikut merebut pasar yang sedang
"bergairah".Menilik potret tersebut, tak heran bila seorang ustadz muda mengaku, dirinya
sempat diundang untuk membuka rumah mode busana Muslim 6 kali dalam setahun.
Empat kali di Jakarta dan 2 kali di Bandung. Apakah ini suatu kemajuan bagi
dakwah busana Muslim? Entahlah.

Padahal, kalau kita mau menengok ke belakang, saat awal-awal syiar jilbab
dilakukan, penerimaan masyarakat terhadap pakaian bersyariat ini sangat
sulit. Bahkan sejumlah kasus sempat mencuat, terutama tentang pelarangan
jilbab di sekolah-sekolah yang (ternyata) saat itu, sepi dari pembelaan para
ulama ataupun ustadz. Kecuali para mahasiswa yang gigih memperjuangkannya.
Namun bagaimanakah peta perkembangan jilbab yang sesungguhnya saat ini?

Pergeseran pemakai

Secara mendasar, anjuran berjilbab disampaikan kepada seluruh perempuan
Muslim yang beriman, seperti yang tercantum dalam Q.S. al-Ahzab: 59 yang
artinya, "Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu,
dan kepada istri-istri orang beriman, hendaknya mereka mengulurkan
jilbabnya." Akan tetapi hal itu tidak menjadikan semua Muslimah terpanggil
untuk mengenakan busana tersebut. Apalagi tumbuh anggapan di masyarakat,
berjilbab berarti menanggalkan segala rupa bentuk "kesukaan dunia" karena
dengan berjilbab, seseorang harus langsung utuh, kaffah, Islami, serta
mengikuti segala macam label persyaratan lain yang menurut mereka justru
terkesan ribet, kaku, tidak modern, dan terlalu berat untuk bisa dikenakan.

Dengan demikian muncul penafsiran, berjilbab hanya dapat dilakukan oleh
orang-orang tertentu dengan keislaman tertentu. Akibatnya, jilbab hanya
dikenakan para aktivis mesjid kampus atau ibu-ibu majelis taklim yang
notebene tidak memperhatikan mode dan penampilan.

Namun sejalan dengan perjuangan dakwah yang disampaikan para ulama di banyak
tempat seperti di mesjid, majelis taklim, kampus, sekolah, atau pun mushala
dan langgar, termasuk tempat-tempat umum sekaliber Bandung Indah Plaza (BIP)
dan Sasana Budaya Ganesha (Sabuga), syiar busana Muslim kian merebak
menyusup ke berbagai kalangan. Para pengenanya pun, bukan lagi ibu-ibu yang
cukup berbusana Muslim alakadarnya, atau para aktivis mahasiswa yang menutup
rapat seluruh tubuhnya dengan gaun dan kudung yang sama lebarnya, tetapi
juga para karyawati (baik di negeri, swasta, maupun BUMN), para profesional
(dosen, dokter, wartawan, dsb) yang dengan trendy mengenakan busana tersebut
dalam aktivitas kesehariannya.

Para wanita mapan dari kalangan jet set, anak-anak remaja, bahkan juga artis
penyanyi dan sinetron yang semula begitu gandrung pada pakaian-pakaian yang
berbau branded luar negeri, juga melakukan hal yang sama.

Semula, mungkin bagi seorang artis, berjilbab merupakan suatu hal yang
mustahil, tetapi rupanya anggapan itu kini sudah bergeser. Apakah ini
penanda bagi sebuah kemajuan syiar busana Muslim yang berhasil? Tunggu dulu.

Ada yang harus digarisbawahi dari fenomena di atas. Pertama, jilbab pada
awal kehadirannya lebih berdasar pada sandaran iman yang kemudian
"ditafsirkan" menjadi sebuah keharusan bagi seorang Muslimah. Dengan
demikian, para pemakainya pun hati-hati dan akan selalu waspada dalam kata,
ucap, maupun tindakan, karena mereka meyakini, jilbab tidak semata-mata
"pakaian fisik" dari ketakwaan seseorang, tetapi pakaian iman yang utuh
(kaffah). Namun kemudian, jilbab dikenakan lebih berdasar pada budaya dan
kebiasaan, sehingga jilbab lebih terlihat pada tuntutan-tuntutan permukaan
seperti karena Ramadhanlah seorang artis mengenakannya, atau karena akan ke
pengajianlah, atau karena upacara pernikahan yang rituallah, seseorang
mengenakannya. Akibatnya, jilbab atau pun busana Muslim yang seharusnya
menjadi busana penutup aurat dan menjadi pakaian tak terpisahkan dari
keimanan seseorang, terkesan menjadi permainan. Padahal, Alquranulkarim
surat al-A'raf: 26 mengatakan, "Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah
menurunkan pakaian kepadamu untuk menutup auratmu, dan pakaian perhiasan
untuk keindahan, dan pakaian takwalah yang terbaik."

Pergeseran mode

Karena Islam begitu luas dan menghargai berbagai apresiasi manusia, maka
bagaimana model jilbab yang seharusnya diterapkan, tidak dipastikan secara
tegas. Islam hanya memberi batasan dalam Q.S. an-Nur: 31 yang artinya, "Dan
hendaklah mereka menutupkan kerudung ke dadanya dan janganlah menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka..."

Tentang bagaimana ketentuan model, kreasi, warna, atau pun rupa dan bentuk
busana itu, Islam memperkenankannya sedemikian rupa tanpa harus keluar dari
syariat yang ditentukan. Rasulullah Saw, menurut sejumlah keterangan,
sesekali berpakaian warna putih, hijau, atau bahkan merah.

Maka bila kemudian berdasarkan kesepakatan para ulama, kaidah tersebut
diterjemahkan menjadi busana yang tidak boleh memperlihatkan aurat perempuan
kecuali muka dan telapak tangan, tidak boleh memperlihatkan bentuk tubuh
(ketat), harus longgar, tidak boleh menerawang/membayang, dan tidak boleh
menyapu lantai, maka itu merupakan bagian dari upaya "membumikan" ayat-ayat
dan ketentuan Alquran.

Begitu juga dengan upaya sejumlah perancang Muslim yang menggagas berbagai
ide busana Muslim atau jilbab, hal tersebut menjadi bagian tak terpisahkan
dari upaya-upaya mencari kreasi, bentuk, atau pun apresiasi dari karya
(busana-busana) yang pernah ada untuk kemudian dikembangkan menjadi busana
yang lebih baik dan indah yang tentu saja memperkaya khazanah penciptaan
karya.

Namun teramat disayangkan, justru karena keleluasaan itulah, saat ini, mode
busana Muslim sudah mengalami pergeseran yang luar biasa.

Pergeseran tersebut dapat terjadi karena dua hal, pertama, adanya para
perancang busana Muslim yang tidak lagi mengindahkan aturan dan
kaidah-kaidah mendasar dalam merancang busana-busananya. Ke dua, karena
rendahnya pemahaman mode dan aturan-aturan mendasar tentang busana Muslim
dari para pemakai. Akibatnya para pemakai mencampuradukkan padanan biasa
semacam t-shirt street dengan celana hipster yang ketat sehingga muncul
sebutan-sebutan "Jilbab Lontong" (Berbusana Muslim tetapi lekuk tubuhnya
tampak jelas) atau "Jilbab Artis" (Berbusana Muslim untuk
keperluan-keperluan tertentu saja), atau sebutan-sebutan lain.

Tentu saja lambat laun sebutan itu akan mencemari imej para pemakai busana
Muslim lainya yang dasar pijakannya lebih bersandar pada iman.

Hal lain yang mendasar, munculnya kecenderungan tumpang tindih antara
perilaku dengan pakaian yang dikenakan. Akibatnya, bukan tidak mungkin,
seseorang yang (tampaknya) menutup aurat (berjilbab) tetapi justru
sesungguhnya ia "telanjang".

Walaupun ketakwaan dan keimanan seseorang tidak dapat dihitung dan dinilai
oleh orang perorang dengan berdasar pada parameter orang perorang, tetapi
bila pergeseran seperti ini terus berlangsung, bukan tidak mungkin jilbab
sebagai busana penutup aurat seperti yang dianjurkan Alquran dan sunnah,
akan kehilangan "ruh" nya di mata masyarakat. Padahal Alquranulkarim telah
mengingatkan dalam surat al-A'raf: 31 yang artinya, "Hai anak Adam, pakailah
pakaianmu yang indah pada setiap akan ke mesjid. Makan dan minumlah , dan
janganlah berlebih-lebihan karena sesungguhnya Allah itu tidak menyukai
orang-orang yang berlebih-lebihan."

Lalu, haruskah kita jual keyakinan kita hanya pada mode? Sampai kemudian
tersisihkannya aturan dan syariah yang ditetapkan-Nya?

Tentu saja hal ini harus menjadi bahan renungan kita semua. Terlebih, busana
Muslim (jilbab) sebetulnya dapat menjadi "pakaian alternatif" yang memberi
keamanan di tengah kepungan budaya mode yang sudah sangat rawan.
***

Sumber : Eriyanto Nurmala Dewi, wartawan HU Galamedia.

إرسال تعليق

Post a Comment (0)

أحدث أقدم